Aforisme: Benny Benke
Tidak akan pernah sampai aku padaMu. Bahkan ketika Kau berbicara lewat bahasa yang paling sederhana sekalipun, aku kesulitan membaca apalagi mengerti apa mauMu. Apalagi jika Kau menyapaku lewat tragedi yang kerap membuat lintang pukang akal budi dan karut marut tatanan taman hati ini. Betapa memprihatinkannya diriku jika mengingat betapa tidak akan pernah sampai aku padaMu. Bahkan ketika Kau berbicara lewat bahasa yang paling sederhana sekalipun.
Kemarin, saudaraku, kemarin. Baru sekitar dua hari yang lalu Dia berbicara kepadaku dengan bahasa yang membesarkan hati. Menghadirkan pasangan hati yang menerangi ruang kebahagiaan. Rerimbunan kesepian yang sempat liar di sini, pelan-pelan terpotong rapi dengan kehadiran cahayanya.
Tapi kini, sekarang, dalam hitungan jenak, Dia lagi-lagi mengingatkanku betapa hidup, sebagaimana kerap didendangkan Gordon Sumner alias kakak Sting, sangatlah rentan. Dalam hitungan helaan nafas, bangunan kesenangan bisa dengan mudah dan gampang, sebagaimana dimaklumi, runtuh menyisakan puing kelaraan. Alasannya; entah!
Bukankah hidup, sebagaimana kerap dinubuatkan para cerdik cendikia tidak akan pernah bisa dengan mudah dimaknai hanya dalam satu kali kehidupan. Kalau saja, kisah mereka, hidup ada gladi resiknya, mungkin nasib kita untuk bersiasat dengan segala jenis kesusahan dan kepedihan cenderung lebih bisa tertahankan. ‘’Tapi hidup hanya sekali nak, jadi apapun maknai dan terima saja,’’ demikian almarhumah ibu kerap menasehatiku, ketika pada sebuah masa, pernah selama sembilan bulan aku berdiam nyaman di kandungannya.
Alharhumah melanjutkan, kau tahu anakku, ilmu yang paling tinggi di bumi ini? Tentu saja aku tidak menjawab atau mendiamkan pertanyaan itu. Aku belum tahu apa-apa waktu itu. Aku tidak ingat apa-apa. Kesaksian bulik dan budeku, adik dan kakak almarhum ibuku, mendiang memang gemar berbicara denganku bahkan ketika aku masih berada di dalam kandungannya. Katanya melanjutkan, ilmu yang paling tinggi untuk menghadapi ketidakjelasan dan ketidakpastian jalan hidup yang tidak akan pernah terbaca yaitu dengan cara, mengikhlaskannya belaka.
Ridlo kuncinya. Dengan menerima keapa-adaanya hidup, maka imbuh almarhum ibu, sepenceritaan bulik dan budeku, seseorang akan cenderung bisa juga melewati ruwet nasibnya. Karena, aku, kau, Anda atau siapapun juga tidak akan pernah benar-benar sampai kepadaNya. Betapapun jenius dan religius orang itu. Tidak akan ada yang benar-benar sampai padaMu. Karena Kau memang tak terpahami, dan hanya diriMu sendiri yang sanggup membaca dan mengerti diriMu. Jadi, sudah sewajarnya aku tidak akan pernah sampai padaMu.
Tapi, ternyata tidak mudah menjadi begitu saja menerima keapaadaan, bahkan berbekal ilmu yang paling tinggi itu: iklhas. Karena keikhlasan membutuhkan konsekwensi, yang sebagaimana dimaklumi banyak orang, tidak ringan sekali. Menerima dengan lapang dada, dengan hati seluas samudra yang mampu menerima aliran kali dari arah mana saja, dan membawa apa saja, hingga kotoran yang paling bangkai, bukanlah perkara mudah dan gampang.
Aku contohnya, atau Anda mungkin. Pasti pernah pada sebuah kesempatan, hatinya berubah menjadi sempit, picik, atau hingga gulita ketika disapa perkara yang tidak akan pernah sampai tercerna akal sehatmu. Karena, hidup tidak cukup mampu dicerna oleh akal yang paling sehat sekalipun. Dia terlalu agung untuk kaubaca dengan bekal akal dan hati yang paling mulia sekalipun. Yang paling jernih dan bersih sekalipun. Atau yang paling mapan sekalipun. Ah, berbicara apa ini aku, menceracau seperti guru kepada muridnya yang paling abai.
Tapi bukankah sebaiknya, setiap orang bertindak sebagai guru dan murid sekaligus kepada orang lain? Bertindak sebagai guru ketika dia membagi ilmu dan kelebihan pengalaman kebijakan, sekaligus menjadi murid ketika bertanya tentang apa saja, ikhwal apa saja, kepada siapa saja? Ah, tapi bukankah aku bukan kamu, kamu bukan aku atau Anda. Setiap orang mempunyai caranya sendiri untuk bersiasat dan menyiasati hidupnya yang tidak terbaca itu? Tidak akan pernah mampu menbaca jalan hidup, kecuali melakoninya juga tidak mengapa kok.
Tidak akan pernah menjadi apa-apa juga tidak apa-apa.
Lalu harus bagaimana idealnya membaca perkara hidup yang tidak akan pernah benar-benar terbaca, mengeja disain nasib yang sangat acak laksana puzzle rakasasa yang tak terpermaknai itu?
Aku tidak tahu jawabnya. Mungkin tidak akan pernah tahu. Aku hanya ingin menulis saja, mengikuti langkah kata berjalan. Kadang kata bisa membingungkan, kadang menerangkan. Kata, sebagaima didendangkan Robert Plant, kadang mempunyai dwi makna. Atau lebih bahkan. Aku tidak peduli lagi, karena dari sesemak dan belantara kata jualah aku kerap menemukan makna. Makna yang paling gulita sekalipun, tentang apa saja. Bahkan tentang perkara yang paling melarakan dan menjerumuskan sekalipun. Amboi, kata memang luar biasa, meski dalam banyak hal, kata juga bahasa, mengurangi makna. Mendistorsi bahasa air muka dan tubuh yang paling murni dan tak terbohongi.
Mungkin karena itu, kata tidak begitu berguna untuk Tuhan Yang Maha Segala. Kata binasa dihadapannya, musnah, tinggal sejarah. Dan pembicaraan dibangun atas nama kesepahaman hati. Yang tidak punya hati, silakan pergi!
Lalu…
Apakah hanya dengan bermodal hati mampu menjangkau bahasa Tuhan yang gemar bercanda lewat kejadian nasib yang aneh-aneh itu? Silakan Anda jawab sendiri, saya bukan orang hanif yang mampu menerangkan kegelapan menjadi sebuah cahaya. Saya, sebagaiaman kebanyakan Anda, hanya pejalan kehidupan yang mencoba saban hari merayakan hidup dengan cara suka-suka. Seenaknya, dan cenderung mengalir saja.
Atau begini saja, aku akan menukil sebuah cerita dari bangsa Arab. Sebagai sebuah bangsa yang sulit berdamai diantara mereka sendiri, bangsa Arab meyakini; bahwa nasib adalah fakta hidup yang sulit dan harus diterima dengan tegar. Hidup menjadi tidak mungkin bila manusia tidak menerima musibah sebagai sebuah keniscayaan. Jadi, menerima kesenangan dan kesusahan dengan sama baiknya, adalah jalan tengah yang paling adil untuk kita. Kita? Abaikan jika Anda tidak bersepakat dengan saya. Ini hanya main-main.
Padahal hampir pada saat yang bersamaan, sebagaimana kisah yang pernah aku baca, aku lupa pada riwayat apa tepatnya, menyebutkan, hampir mustahil untuk percaya kepada Tuhan YME dan Maha Penyayang, jika pada saat yang bersamaan hidup penuh dengan marabahaya dan nasib yang tidak menentu. Untuk itulah, aku memberontak terhadap takdir yang kejam, dan ingin membuktikan pada kehidupan, bahwa aku dapat hidup dalam lingkungan yang paling mustahil sekalipun. Bahkan dalam kungkungan tragedi nasib yang paling tidak tertanggungkan orang kebanyakan. Karena aku perkasa, maka aku harus bisa dan siap menelan hidup, dengan segala barang bawaannya. Apapun bayarannya.
Jadi, meski aku tidak akan pernah sampai kepadaMu, paling tidak, aku sudah berkelahi dengan berani dan penuh keikhlasan dengan semua suratanMu. Lalu apa yang harus aku takutkan terhadap kehidupan? Kesendirian, kesepian, keterasingan, kepapaan, itu semua tidak akan pernah sanggup menelikungku. Tidak akan pernah.
Saat ini, dengan sedikit bantuan dari Ludwig Van Beethoven dengan Moonlight Sonata-nya dan Black Sabbath dengan Changes-nya, aku berdiam diri, sendiri. Karena, sepemahamanku, kita membutuhkan ruang pribadi dalam hidup, tempat kita untuk istirahat sejenak, untuk memusatkan pikiran dan berpikir menjadi lebih baik. Menjadi lebih baik versiku tentu saja. Bahwa tidak akan pernah sampai aku padaMu, bukan soal lagi. Sembari pelan-pelan aku simak kejenakaan Cab Calloway dengan Minnie the Moocher- nya. Serta dendang kesengauan Bob Dylan lewat House of the Rising Sun. Nikmat sekali.
Dengan begitu, harapku, aku dapat menerima kesempitan dan kelapangan dengan sama baik. Dengan sama adilnya. I love You, Tuhan.
Cibubur, 20/2/09
1 komentar:
i luv u Tuhan....betapa indah kalimat ini...
Posting Komentar