Selasa, 10 Maret 2009

See, I Can Fly!!!



Oleh Ressa Novita

Gedung ini tidak terlalu tinggi, sekitar 20 lantai. Dan aku sudah berdiri di lantai tertinggi tanpa atap. Lantai pelindung dalam gedung yang selalu kosong tanpa apapun dan siapapun. Hanya aku yang siap mencobanya.

Rumah Sakit ini, tempat bermainku sehari-hari, malah lebih cocok disebut tempat tinggalku selama ini. Ayahku Dokter Bedah, Ibuku Psikolog, kakak perempuan semata wayangku bekerja sebagai perawat yang mendampingi seorang Dokter Muda yang sebentar lagi akan resmi menikahinya. Keluargaku, semuanya, hidup dibawah gedung yang menjulang tak kalah dengan menara-menara di sekitarnya. Tak terkecuali aku.

Sampai di tepi lantai tertinggi, kurentangkan kedua tanganku sejajar dengan bahu. Kubiarkan angin yang berhembus menghempas tubuhku dari ujung rambut hingga ke ujung jari kaki. Sama sekali tidak terasa dingin, seperti yang kurasakan sebelumnya yang seketika akan memaksaku kembali ke kamar. Hangat dan sedikit sejuk malah.

Kuarahkan pandanganku pada sekelompok dara yang melayang tak beraturan di bawah awan, terlihat indah berbenturan dengan biru oranye dari langit siang hari.

Kuhirup udara dalam-dalam yang kian tanpa rasa. Kuanggap saja oksigen yang dimiliki udara itu sedikit banyak telah menyegarkan kembali sekujur tubuh serta pikiranku. Anggap saja begitu.

Kualihkan pandanganku ke bawah. Halaman yang luas tanpa sedikitpun tanah cokelat yang terlihat. Rerumputan dan bunga liar yang semula sengaja ditanam itu, telah memenuhi halaman tanpa cacat sedikitpun. Cantik sekali.

Tapi mungkin sakit kalau tubuh manusia dibenturkan disana. Yah, tempat itu tujuanku selanjutnya “jika” aku gagal untuk percobaanku yang pertama ini. Mudah-mudahan saja tidak akan terasa apa-apa.

Kulemparkan tubuhku dengan segenap tekad dan keberanian untuk dapat melewati pembatas gedung yang berukuran kurang dari setengah meter itu.

“Aku Terbang!!!” teriakku tanpa bisa mengendalikan rasa gembira bercampur haru yang ada.

Aku menukik lambat ke bawah. Saking lambatnya, aku bingung harus berpikir apa.

Ah, aku gagal lagi! Seharusnya kalau terbang itu ke atas, kalau ke bawah ini namanya jatuh. Ah, aku jatuh! Bagaimana ini?!

Sedikit muncul rasa takut, tiba-tiba. Kupejamkan kedua belah mataku, pasrah. Aku akan berakhir pasti.

Huh, padahal ini impian yang telah lama kupendam. Impian yang hanya sebatas impian dalam malam ketika aku mulai kehilangan kemampuanku untuk melangkah. Aku tidak bisa melangkah secara tiba-tiba diusiaku yang beranjak remaja! Kedua kakiku lumpuh! Bagaimana mungkin aku melompat untuk belajar terbang?!

Haha! Kamu seperti anak burung dara!

Seseorang pernah mengejekku demikian, setiap kali aku mengungkapkan keinginanku yang tak masuk akal ini. Sekarang aku baru sadar, bagaimanapun memang tidak bisa.

Tiba-tiba aku merasakan hangat mengalir dalam darahku. Aku berhenti terjatuh akibat gravitasi bumi.

“Perjalananmu menyenangkan, Nona?!” suara yang begitu kukenal memaksaku membuka mata.

“Yoga?!”

Ternyata aku sudah berada di antara kedua tangan Yoga. Tapi, bagaimana caranya ia menangkap tubuhku yang melayang jatuh dari lantai 20 ?!

“Oh, ternyata aku kejatuhan malaikat yang mencoba bunuh diri. Tidak punya sayap. Pantas frustasi. Tapi, kok bisa pas jatuh disini yah! Seharusnya jatuh di sungai, biar langsung di makan buaya!” ocehnya kesal melihat tingkahku.

“Yoga turunin, donk!”

Tanpa banyak tanya lagi, ia menurunkanku duduk di atas rumput yang basah karena gerimis beberapa waktu yang lalu.

“Kok, kamu ringan banget sich?! Tidak punya dosa ya?! Hah, untung saja aku kebetulan lewat dan melihatmu terjun dari atap gedung dan berhasil menangkapmu. Bagaimana kalau tidak?! Sebenarnya apa sich yang kamu inginkan?! Terbang?! Aku kan sudah bilang itu tidak mungkin! Lho?! Lho?! Kamu kok tiba-tiba menangis?!”

“Ka…Kamu sudah sembuh Yoga?!” tanyaku. Kedua tanganku berusaha menggapai wajahnya yang terlihat makin memerah, reaksi dari kondisi tubuhnya yang mulai membaik.

“Entahlah, mukjizat mungkin?! Ada wanita yang berpesan agar jantungnya didonorkan padaku untuk dicangkokkan ke tubuhku jika ia meninggal nanti. Eh, tiba-tiba wanita itu meninggal. Kasihan padahal usianya masih sangat muda. Tapi, berkat wanita itu aku tidak jadi mati deh. Sekarang pasti dia sudah beristirahat dengan tenang! Semoga Tuhan Yang Maha Esa menerimanya disisiNya! Eh, Nadia?!”

“Apa?!”

“Aku harus nyanyi lagu apa agar kamu berhenti menangis?!”

“Tidak ada! Aku mual jika mendengar nyanyianmu, sungguh. Aku hanya terlalu senang, aku kira aku tidak bisa melihatmu lagi. Aku kira, aku akan kehilangan kamu. Aku kira, aku akan sendirian lagi disini. Aku kira, …”

“Aku kira juga begitu! Tapi, seperti semangat yang pernah kamu ucapkan padaku. Tuhan pasti beri jalan!”

“Haha, syukurlah!”

“Kalau begitu, berhentilah menangis!” ucapnya sambil menyeka airmata di wajahku dengan jemarinya.

“Tidak bisa. Aku sudah kehilangan semangat itu. Tuhan tidak memberikan jalan pada keputusasaanku. Aku tidak bisa terbang! Aku sudah mencoba lompat dari lantai tertinggi, tapi aku tetap tidak bisa terbang. Padahal kan aku…” aku segera menghentikan kata-kataku, begitu aku sadar ada yang tidak perlu ia ketahui saat ini. “Aku ingin sekali terbang!”

“Aku kan sudah bilang itu tidak mungkin! Manusia tidak punya sayap! Kalau aku sudah sehat betul dan kamu sudah bisa berjalan lagi, aku akan ajak kamu terbang naik parasut, bagaimana?!”

“Aku tidak mungkin sembuh! Lagipula aku tidak ingin terbang pakai alat bantu apapun!”

“Dasar keras kepala! Ya sudah, aku kedalam dulu mengambil kursi rodamu! Atau kamu mau aku ngendong ke dalam?! Tapi, lantai 14 itu jauh lho! Kalau lift nya rusak bagaimana?!”

“Jangan banyak alasan! Kamu memang malas mengendongku kan?!”

“Yah, aku kan lagi masa penyembuhan!”

“Sudah, pergi sana! Dan jangan pake lama!”

Kutatap kepergiannya dengan sisa airmataku. Mungkin kamu akan kecewa jika nanti kamu kembali dengan kursi rodaku, Yoga. Atau kamu malah bangga.

Perlahan aku gerakan sendi-sendi kakiku yang semula sengaja kudiamkan. Aku berdiri tegak untuk melangkah ke halaman belakang yang lebih luas. Disana banyak pohon besar, aku akan coba terbang dari sana. Siapa tahu berhasil!

Yoga, kekasihku! Aku akan memperlihatkan padamu, kalau aku benar-benar bisa terbang! Memang aku butuh waktu untuk itu! Tadi Rara bilang begitu sebelum meninggalkanku.

“Nadia!!! Nadia!!! Nadia!!!”

Ah, aku belum menemukan pohon yang cocok. Kenapa Yoga sudah kembali?!

“Nadia… Apa maksud semua ini?! Jelaskan padaku?!”

Kulihat Yoga berlari kearahku. Ia menggendong tubuh seorang gadis, tubuhku, tubuh yang tak lagi bernyawa.

“Jangan mendekat!!!”

Yoga berhenti dan membaringkan tubuhku di bangku taman yang ada di dekatnya.

“Kamu masih bisa kembali ke tubuh ini kan, Nadia?!”

Aku menggeleng lemah.

“Aku akan cari orang pintar yang bisa menggembalikanmu masuk ke tubuhmu”

Aku kembali menggeleng, kali ini dengan airmata yang membanjiri wajahku.

“Aku sudah tidak punya jantung! Apapun cara yang kamu lakukan, aku sudah mati! Aku juga tidak mengerti kenapa kamu bisa menyentuh raga halus ini. Tapi aku benar-benar sudah mati! Tadi aku menggorok nadiku dengan pisau di depan kamarmu. Agar jika mereka menemukan mayatku, mereka bisa menggunakan jantungku untuk menyelamatkanmu”

“Tapi, kenapa Nadia?! Kenapa kamu lakukan ini?!”

“Aku berhutang banyak tawa padamu, Yoga! Kamu telah memberikan nyawa yang tak terhitung jumlahnya. Jantung yang aku berikan tidak ada apa-apanya! Aku mengaku ingin sekali terbang, itu hanya sekedar harapan kecil. Tiap kali aku naik ke atap gedung, aku hanya ingin melompat untuk mengakhiri semuanya. Karena, apa gunaku?! Berdiri saja aku tidak bisa. Tapi sejak aku bertemu kamu, aku malah kasihan pada diriku sendiri, kamu bilang aku seperti anak burung dara yang berusaha terbang, kamu bilang kamu bersedia menjadi indukku untuk mengajariku terbang, setelah itu kamu mengejekku lagi. Aku kasihan pada diriku sendiri. Setiap saat kamu memberiku semangat agar jangan pernah menyerah, padahal aku tahu kamu sama halnya dengan anak burung dara yang tidak bisa terbang itu. Malah lebih dari itu, kamu anak burung dara yang sudah sekarat. Tapi kamu malah memberiku semangat yang begitu besar. Kamu menghiasi hari-hari yang semula kuanggap tanpa arti. Kamu malaikatku, karena itu aku tidak akan membiarkan malaikatku mati. 3 tahun bersama mu begitu singkat, tapi juga begitu indah. Kuharap kamu tidak akan pernah lupa, kalau kamu pernah melamarku untuk menjadi istrimu. Kamu juga jangan melepas cincin pertunangan ini dari tubuhku ya, aku mau membawa cincin ini ke surga”

“Nadia, kamu ngomong apa sih?! Aku tidak mengijinkan kamu pergi! Tidak akan pernah!!!”

“Nadia! Bagaimana kamu sudah bisa terbang?!” tiba-tiba Rara muncul disampingku. Dia malaikat yang akan mengantarku ke alam baka.

Aku menggeleng pelan padanya.

“Tentu saja karena aku belum memberikan sayap roh padamu”

Malaikat yang sedikit humoris itu tertawa terbahak-bahak karena merasa sudah membuatku melompat dari gedung 20 lantai itu.

“Rara, tadi aku hampir terjatuh!” protesku setengah berbisik pada Rara.

“Kamu tidak perlu lagi naik ke atap gedung atau ke atas pohon untuk terbang!”

Rara menempelkan sebuah sinar putih dari tangannya ke punggungku.

“Sudah bisa digunakan?!”

“Kamu bisa coba sekarang!” usul Rara sambil menepuk-nepuk punggungku.

Seketika sepasang sayap putih besar tumbuh dipunggungku. Mengepak-ngepak siap untuk diterbangkan.

“Ini benar-benar sayap?!” tanyaku tak percaya.

“Sayap yang akan membawamu terbang meninggalkan dunia ini” jawab Rara.

“Yoga, kamu harus lihat aku terbang!”

“Tidak! Kalau kamu terbang, itu artinya kamu tidak akan kembali lagi!”

“Tentu saja aku tidak akan kembali. Tapi, kamu harus lihat aku terbang! Pokoknya aku tidak ijinkan kamu menutup mata!”

“Nadia, sudah waktunya kita pergi! Lihatlah cahaya di atas sana!” perintah Rara.

Aku mengikuti perintah Rara untuk melihat cahaya di atas kepalaku. Perlahan sayap maya di punggungku mengepak cepat. Raga halusku terbang bersamanya. Aku terbang!

“Yoga, aku bisa terbang!”

“Nadia, jangan pergi! Aku mohon! Aku mencintaimu! Jadi jangan pergi!”

“Yoga, aku terbang untukmu… Kamu lihatkan! Kamu cukup membalasnya dengan menjaga jantungku. Aku akan mencekikmu dari alam baka kalau kamu berani merusaknya!” ucapku tanpa sanggup menjaga bendungan airmata. “Yoga, aku mencintaimu! Aku ingin kamu tahu, aku akan selalu mencintaimu. Aku tidak akan melupakan kebahagiaan yang kamu berikan padaku selama ini! Kamu juga tidak boleh lupa!” teriakku untuk terakhir kalinya.

Aku melayang semakin tinggi. Kehilangan sosok Yoga juga suaranya yang memanggilku dengan airmata. Sayap-sayapku membawaku menembus cahaya langit itu. Aku harap disa

0 komentar:

Posting Komentar