Senin, 23 Februari 2009

Kokoh Bertahan di Himpitan Gedung Tinggi


JAKARTA--Mungkin tak semua warga Ibu kota pernah menyangka, ditengah hiruk pikuk pembangunan kota Jakarta, terselip lembaran sejarah pusat penyiaran agama islam cukup tua hingga menjadi saksi polemik pembangunan kota.

Mengapa demikian? Berbagai bangunan mesjid rela tergusur guna pembangunan dan warga memilih ganti rugi miliaran rupiah. Tetapi itu tak berlaku bagi masjid yang diberi nama Jami roudhatul Falah, di Kuningan, Jakarta. Masjid yang juga dikenal dengan nama Guru Mail tetap berdiri ditengah silaunya gedung pencakar langit.

Mesjid yang terletak di Jalan Rasuna Said, Pendurenan Mesjid RT.004/RW.04 Kelurahan Karet Kuningan, Kecamatan Stiabudi, Jakarta Selatan telah berusia 209 tahun. Mesjid itu didirikan penduduk asli Jakarta yang bernama Haji Ismail pada tahun 1800 -an dan menyimpan sekelumit cerita perkembangan syiar islam daerah Kuningan,Jakarta Selatan--yang dahulu merupakan pematang sawah dan semak belukar yang rindang.

Sangat sedikit yang tahu mengenai sejarah asli mesjid, karena cerita hanya beredar sebatas warga asli yang bertempat tinggal di sekitar masjid selama puluhan tahun. Saat membangun masjid, sang pemilik berharap, masjid dikenal bukan karena mengumbar tampilan elok, tetapi karena syiar Islam, membuat masayarakat mengenal Allah dan diri sendiri.

KH. Ahmad Khotib Bin Abussomad keturunan langsung Haji Mail menuturkan masjid kala itu dibangun oleh Haji Abdul Aziz dan Haji Ismail,kakek dari Ahmad Khatib pada tahun 1800-an. Awalnya berupa petakan bangunan yang seluruh material menggunakan kayu atau papan beratapkan daun jati dan beralaskan tanah.

Namun bangunan terbilang sederhana tersebut telah mempunyai peran vital saat itu. H Ismail mengajarkan masyarakat sekitar untuk mengenal siapa diri sendiri, siapa Tuhannya, kemudian kehidupan apa yang dijalani setelah mati.

Kemudian, seiring waktu berjalan mesjid pun berubah, jika semula pondasi menggunakan kayu kini menjadi batu bata. Atap mesjid tidak lagi menggunakan daun melainkan genting dan alas pun bukan tanah melainkan pelur, begitupun ubin menjadi keramik sekarang. "Dulu belum ada tempat wudhu,jadi penduduk yang mau sholat mesti wudhu terlebih dahulu dirumah," kenang Ahmad.

Syiar islam pun terus berkembang, peran mesjid Guru Mail menjadi vital terhadap warga sekitar. Berbagai tradisi telah dilakukan selama generasi ke generasi dalam keluarga besar H. Ahmad Khatib. Seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Perayaan Qurban dan Idul Fitri. Haji Mail sendiri mempunyai empat keturuan dari tiga istri yang berbeda yakni H. Abussomad, H. Ishak Bin Guru H. Ismail, H. Arief Bin Guru Ismail dan KH. Abdullah Bin Guru Islamil.

Kemudian setelah Haji Ismail Wafat, pengurusan mesjid berpindah tangan kepada anaknya yang bernama H. Abussomad yang merupakan orang tua dari Ahmad. Perjuangan terus dilakukan selama kepengurusan H. Abussomad untuk membangun sedikit demi sedikit agar menjadikan mesjid menjadi lebih layak dan nyaman bagi jamaah.

Tak ayal, H. Ahmad yang kala itu berusia 12 tahun--ia lahir 31 Desember 1954--pernah merasakan bagaimana meminta sumbangan baik dalam bentuk uang maupun pangan ke setiap warga sekitar. Sepeninggal H. Abussomad pada tahun 1985, Ahmad yang genap berusia 31 tahun memegang amanah untuk melanjutkan tongkat kepengurusan.

Bagi Ahmad, amanah adalah berkah. Dia sadar betul,tanggung jawab yang diembannya tidaklah ringan.S ebagai wujud baktinya,H.Ahmad melakukan perbaikan hingga bangunan sekarang memiliki luas 1105 M2 yang dapat menampung 1500 jamaah. Keadaan sekarang jauh berbeda dengan dahulu, jauh lebih baik.

Bangunan kini menjadi dua lantai dengan bentuk arsitektur yang tak berbeda dengan mesjid lain yang ada, kubah yang mengkilap dengan dua menara pengeras suara yang mengapitnya, sehingga tak terlihat mesjid ini telah berusia 200 tahun. Pancangan bangunan terlihat kokoh, dengan desain yang sudah modern. Kini Ahmad mencoba melebarkan bagian lantai dua.

Cerita kelam pun sempat mewarnai sejarah masjid, tepatnya terjadi setelah Ahmad mengagantikan ayahnya pada tahun 1985. Saat itu, tutur Ahmad, ada pihak yakni warga setempat namun bukan warga asli mengambil alih bangunan mesjid selama 10 tahun dari tahun 1974-1984. Perjuangan mendapatkan masjid kembali pun ia tempuh meski harus berhadapan dengan pihak keamanan."Mesjid sempat tak terurus, sehingga waktu sholat jumat atau ibadah lain pihak RT atau RW yang mengurus," kenangnya.

Setelah pristiwa itu, Ahmad pun membongkar seluruh bangunan, lalu ia bangun kembali pada tahun 1991 dengan bantuan dari warga sekitar,pemerintah DKI, serta para perusahaan yang berada disekitar mesjid. Bangunan tersebut selesai tahun 2007, bentuknya sudah menyerupai yang sekarang."Alhamdulilah, selama membangun ada lancar tidak ada masalah dana," ujarnya.

Pembangunan dilanjutkan kembali pada tahun 2008, yaitu melebarkan lantai dua. Ahmad berharap, pembangunan terbaru bisa membuat nyaman para jemaah yang hendak beribadah. Pria yang pernah mengenyam pesantren gontor selama lima tahun menyadari pembangunan memang tidak terelakan, namun baginya, tak lantas semua masjid jadi korban dan tergusur./cr1/itz

from http://republika.co.id

0 komentar:

Posting Komentar