Kamis, 26 Februari 2009

Di Baik Jendela

Di Baik Jendela

By: Ya2 M-m

Di pagi hari seorang wanita berbaju serba putih berjalan memasuki kamar tempatku menginap. Ia tersenyum menghampiriku dan membawa lap handuk kecil dan seember kecil berisi air hangat. Aku pun membalas tersenyum dengan diselingi suara batuk yang amat berat.

“Uhuk…uhuk…uhuk….” ku berusaha bangkit tuk mengeluarkan dahak yang sangat mengganggu di pangkal lidahku.

“Ini Pak, ludahkan saja di sini! Bapak gak usah berdiri” senyumnya menghiasi ucapannya yang sangat ramah.

“manyoo….manyih ………*@???!” ucapan terima kasih yang ingin ku katakan dengan bibir agak monyong dan air liur yang meluap di bibirku. Ku ingin berkata-kata tapi lidah ini rasanya kelu tuk ucapkan sepatah kata pun.

“Sebentar ya Pak, saya tinggal dulu” dia pun keluar dengan meninggalkan keramahannya.

Struk dan jantung, itulah dua hukuman yang divonis Tuhan dan hasil diagnosis dokter. Aku sungguh tak berdaya, nikmat dari Tuhan yang selama ini ku nikmati sebelumnya kini tak ku rasa. Tuhan telah mencabut itu satu persatu dariku.

‘Menyesal?!’

Apa kata itu pantas ku ucapkan??? Delapan huruf, diawali ‘M’ diakhiri ‘l’ semua orang pernah mengalami kata ini. Tapi apa gunanya kata ini?

‘Menangis’

2

Kata itu biasanya terlahir sesudah “Menyesal” dan aku pun mengalami itu sekarang. Tangisan, adalah sebuah luapan emosi yang terlahir karena ada rangsangan yang terjadi di dalam jiwa yang peka. Tapi apa hanya dengan menangis aku dapat mendapatkan kenikmatan itu kembali? Sungguh…amat berharga, tapi mengapa kemarin aku tak bersyukur????????

‘Sungguh ironis!!!’

Sudah dua hari ku bermalam di sini, terlentang tak berdaya berbaring di atas ranjang beroda. Pertama kali ku dibawa ke sini dalam keadaan tak sadar, semuanya nampak tak berisi dan aku merasa tak hidup di dunia nyata. Mati suri, istilah itu yang mereka lekatkan padaku satu pekan ke belakang, padahal aku hanya pingsan beberapa hari.

Ini hari ketiga ku tinggal di sini sekaligus hari kedua ku sadarkan diri. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diriku? Dan yang nampak jelas kurasakan adalah kaki kanan dan tangan kiriku tak bisa kugerakkan saat ku mulai sadarkan diri satu hari ke belakang.

‘Lumpuh’

Itulah kata yang tepat mewakili keadaan sekarang ku alami. Ku tak bisa lagi berjalan seperti biasanya, dan tangan kiriku tak bisa lagi ku pakai untuk mengoper gigi. Semuanya terasa amat berat dan seakan-akan hidup ini akan cepat berakhir. Terlintas ku berpikir, apa gunanya aku hidup dalam keadaan seperti ini???? Lumpuh tak berdaya, tak ada yang dapat ku lakukan dengan kemampuanku sekrang ini.

“Assalamua’laikum…Papa gimana keadaanmu sekarang?” anak perempuanku satu-satunya datang.

“Wanyamo….ssf,….ddfjmmmm….oooo” sebenarnya aku ingin berkata “waa’laikum salam dan menjawab aku baik-baik saja anakku” tapi

3

aku hanya bisa berkata tak berarti dan tersenyum menyon ditambah air liur yang semakin meluap.

Dialah anakku, perhiasan dalam hidupku yang tak kan ada yang bisa menggantikannya dalam hidupku. Ini hari ketiga ku berbaring di rumah sakit, dan ia pun selalu setia menemaniku saat ku tak sadarkan diri sampai sekarang ku tersadar. Terima kasih Tuhan…walaupun sebagian nikmat telah Kau cabut tapi ku masih dapat merasakan nikmat ‘disayangi’ dan ‘dicintai’.

Anakku mengeluarkan sapu tangan di sakunya dan mengusap bibir menyonku yang dipenuhi oleh luapan air liur yang cukup menjijikan. Sungguh…anakku sangat menyayangi dan mencintaiku. Ku tak bisa berkata sepatah kata pun, yang bisa ku ucap hanyalah sebuah kata-kata yang tak berarti.

“Manya oooy nyo nyinnntto…. @?!” ingin sekali ku berkata, namun hanya itu yang bisa ku katakan.

“Papa…gimana tangan kirinya?” tangannya menggenggam tangan kiriku lalu diciumnya.

“ooooooieori cunyuu………@?!” entah apa lagi yang ku katakan, yang jelas pasti anakku tak akan mengerti apa yang ku katakan.

Andai ku dapat berkata kembali seperti biasanya yang pertama kali ku katakan kepada anakku adalah “Nak, sungguh…Papa mencintaimu”.

Terlihat tatapan penuh cinta dan kasih sayang di matanya, meluncur tetesan air mata perlahan membasahi pipinya. Tuhan…seandainya suatu saat tanganku ini dapat ku kuasai kembali, ku kan mencintai dan menyayanginya dengan tangan dariMu. Sungguh…aku sangat mencintai anakku satu-satunya ini.

“Permisi, sekarang waktunya Bapak untuk mandi” kata seseorang berbaju serba putih yang masuk membawa handuk kecil di tangannya.

4

“Oh…Papa belum mandi ya?” jawab anakku.

“Idih…Papa seneng ya dimandiin sama suster?” kata anakku menggoda.

“Nggak usah Sus, biar saya saja yang memandikan Papa”

“Baiklah, kalau begitu saya permisi mau memandikan pasien sebelah” suster itu pun pergi ke pasien sebelah yang sudah lebih dulu menginap di sini.

“Selamat pagi Pak Ahmad, saatnya untuk mandi….”

Oh…namanya Ahmad, ingin rasanya ku berbagia cerita dengannya. Sudah tiga hari ku di sini namun hari ini baru kali kedua ku sadarkan diri. Ku ingin mengetahui bagaimana keadaan Rumah Sakit ini sebelum aku datang dan yang paling ingin ku ketahui bagaimana pemandangan di luar jika dilihat di balik jendela.

“Papa…sekarang mandi dulu ya!” anakku meminta aku untuk segera mandi.

“Nmmnyaaammm……ooorrtyu?@!*/??” jawabku sambil mengangguk dengan bibir yang menyon.

Dibukanya tali baju pasien berwarna biru bertuliskan “Rumah Sakit Harapan Kami Semua” atau yang sering disingkat “RSKS”. Dimatikannya slang infus untuk sementara kemudian baju yang kukenakan berhasil dilepasnya. Diusapkannya handuk kecil berlumur air hangat ke bagian dadaku dan perutku. Aku berbalik dan diusapnya pula bagian punggungku dan terakhir wajahku yang sudah tidak kencang lagi diusapnya pula.

“Permisi Mbak, ini baju gantinya” kata seorang suster yang berbeda sambil membawa baju kotor yang kemarin aku kenakan.

“Oh…iya, terima kasih ya Sus.”

“Papa…sekarang dipakai bajunya ya…!”

Anakku memakaikan baju untukku, seakan-akan kembali seperti bayi. Ku tak bisa melakukan apa pun sendiri, semuanya perlu bantuan orang

5

lain. Anakku, maafkan Papa mu ini yang sangat merepotkan.

“Papa…Sari keluar dulu ya, mau jemur handuk yang tadi Papa pakai” anakku meminta izin keluar.

“Mohuou….mouh?@*/!>???! untuk ke sekian kalinya aku berkata-kata tak karuan dan mengangguk dengan bibir yang menyon.

Anakku pun keluar meninggalkanku berdua dengan Pak Ahmad di sampingku. Aku ingin sekali menyapa teman sekamarku tapi untuk bicara saja ku tak mampu.

“Pak Iksan ya..?”

Terdengar suara memanggilku, ternyata Pak Ahmad yang memanggilku sambil membukakan gorden pembatas.

“Iya..Pak, saya tahu nama Bapak dari suster tadi. Kenalkan nama saya Ahmad” kata Pak Ahmad dengan ramah.

“Ukkkkkh….ooh?@!???” ku kembali berkata tak karuan sambil menunjuk jendela dengan tangan kananku.

“Kenapa Pak???”

“Oh…iya, ada satu hal yang sangat ingin ku ceritakan kepada Bapak. Jika pagi-pagi tiba sungguh indah pemandangan di luar sana, di balik jendela ini akan terlihat pemandangan kota dari ketinggian tujuh meter. Subhanallah…indah sekali Pak. Makanya Pak, cepet sehat ya Pak…biar kita dapat menjadi bagian dari pemandangan itu bukan hanya sebagai penonton sekaligus penikmat saja.”

Pak Ahmad bercerita panjang lebar, semangatku menjadi semakin menjadi. Semangat untuk sehat, senangat untuk hidup, dan semangat untuk selalu bersyukur dengan kehidupan yang indah ini. Sungguh…seperti motivator saja teman sekamarku ini. Namun sayang aku tak dapat berbicara dengan jelas kepadanya.

6

“Emmmm…emmm emm emm mmemm mmmemm?????!” ku berusaha memanggil PakAhmad, tapi tak ada jawaban?????? Kenapa? Ada apa dengan Pak Ahmad???? Ku berusaha bangkit tapi ku tak kuasa, anakku pun belum kembali.

“Emmmm…emmm emm emm mmemm mmmemm?????!”

“Emmmm…emmm emm emm mmemm mmmemm?????!”

“Emmmm…emmm emm emm mmemm mmmemm?????!”

“Papa…Sari balik lagi, kenapa Pa? mau duduk?” anakku akhirnya datang juga.

“Emmmm…emmm emm emm mmemm mmmemm?????!” aku berusaha menunjuk ke arah Pak Ahmad dengan tangan kananku.

“Innalillahi….”

Anakku langsung berlari keluar mencari suster. Pada saat itu pula aku berusaha untuk turun dari ranjang beroda karena sangat ingin melihat bagaimana pemandangan kota dari balik jendela.

“Gedebug….”

Aku terjatuh…dan aku pun merangkak ke arah jendela, mendekat dan semakin mendekat, kuraih jendela dan berdiri dengan tumpuan di kaki kiriku. Oh…ternyata Pak Ahmad seorang pembohong! Tak ada pemandangan yang dapat dilihat di sini.

“Papa…kenapa ada di sini? Kembali ke ranjang ya!” anakku kembali membawa seorang suster dan seorang dokter.

Dan saat ku dipapah ke ranjang beroda oleh anakku ku melihat papan pasien di atas kepala Pak Ahmad, ternyata Pak Ahmad seorang pria berumur 65 tahun didiagnosis oleh dokter menderita katarak dan mengalami kebutaan sementara.

Yaya Mulyamantri posting from mahasiswa

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Dod gw follow blog u ya.. Follow back ya.???

mimo mengatakan...

ok benk.. u da banner blog g??
ntar gw follow juga..

Anonim mengatakan...

baca-baca blog

Posting Komentar