Rabu, 25 Februari 2009

Belajar Sains Jadi Asyik dan Menyenangkan



Belajar sains di sekolah masih...

menjadi momok bagi sebagian siswa Indonesia. Anggapan belajar sains itu sulit, hanya bisa dikerjakan siswa pintar, dan membosankan begitu kuat melekat di benak banyak anak.

Ditambah pula kebiasaan guru yang lebih sibuk mencekoki siswa dengan rumus-rumus yang tidak mudah dipahami, sains yang sebenarnya bisa dieksplorasi dari keseharian anak- anak semakin berjarak dan tidak menarik. Penguasaan konsep- konsep sains yang seharusnya diprioritaskan untuk dipahami anak-anak SD hingga di jenjang berikutnya sudah mampu mengaplikasikan sains dalam kehidupan justru terlupakan.

Padahal, penguasaan sains merupakan kunci penting untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung daya saing dan kemajuan suatu bangsa.

Pendidikan sains di Indonesia yang dinilai ”menyeramkan” hanya mampu membuat anak- anak hafal, tetapi tidak paham konsep dasar dari sains. Ini terlihat dari penilaian Programme for International Student Assessment 2006: Science Competencies for Tommorow’s World yang dipublikasikan pada Desember 2007.

Kompetensi sains siswa Indonesia usia 15 tahun (SMP) sebanyak 61,6 persen di bawah level 1, yaitu memiliki pengetahuan sains sangat terbatas. Padahal, siswa SMP diharapkan minimal di level 2, bisa melakukan penelitian sederhana.

Di level 2, berdasarkan penilaian itu ada 27,5 persen siswa Indonesia. Di level 3 siswa yang mampu mengidentifikasi masalah-masalah ilmiah 9,5 persen, sedangkan di level 4, yakni mampu memanfaatkan sains untuk kehidupan, 1,4 persen. Siswa Indonesia belum ada yang mencapai level 6 (tertinggi), yakni secara konsisten mampu mengidentifikasi, menjelaskan, serta mengaplikasi pengetahuan dan sains dalam berbagai situasi kehidupan yang kompleks.

Para siswa itu tahu belajar sains penting untuk memahami alam semesta, tetapi cuma setengahnya yang mengatakan sains relevan dengan kehidupan sehari-hari. Hanya sekitar 37 persen siswa yang diteliti itu tertarik bekerja di bidang sains.

Pesimistis

Rendahnya minat terhadap sains ini memengaruhi persepsi kaum muda terhadap persoalan lingkungan hidup. Mereka pesimistis persoalan kekurangan energi, kekurangan air, polusi udara, serta kepunahan hewan dan tumbuhan bisa diatasi dalam 20 tahun ke depan.

Di jenjang pendidikan menengah, Kelompok Studi Pendidikan Berkualitas Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) melakukan analisis hasil tes seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) dan ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN) 1997-2006 bidang IPA/Sains dan Matematika. Hasilnya ditemukan, kualitas lulusan SMA yang lemah terhadap penguasaan konsep-konsep serta prinsip-prinsip dasar fisika dan matematika. Padahal, soal-soal sains dan Matematika SPMB/UMPTN berada dalam jangkauan kurikulum SMA.

Pendidikan sains di tingkat dasar-menengah yang tidak menyenangkan itu menyebabkan hanya 5 persen dari total 4,3 juta mahasiswa yang tertarik mendalami bidang sains. Padahal, untuk membangun kemajuan bangsa di berbagai bidang diperlukan sedikitnya 10 persen mahasiswa bidang sains.

Asyik dan menyenangkan

Kondisi psikologis siswa yang merasa seram dan benci pada pelajaran sains harus dibenahi jika Indonesia ingin maju dan berdaya saing. Karena itu, gagasan untuk menciptakan pembelajaran sains yang asyik dan menyenangkan harus terus digalakkan.

Yohanes Surya, ahli Fisika Indonesia, mengamati pembelajaran sains di Indonesia tidak maju karena guru lebih berfokus pada penghafalan rumus-rumus. Akibatnya, siswa menjadi terbebani dan tak mampu mengaplikasikan rumus-rumus itu untuk memecahkan persoalan melalui pendekatan sains.

Dari pengalamannya mengajar, Yohanes kemudian menciptakan pembelajaran Fisika tanpa rumus yang disebutnya Fisika gampang, asyik, dan menyenangkan (gasing) untuk membantu belajar siswa dan guru. Yohanes lewat Yayasan Surya Institute membuat VCD Fisika gasing yang mengajak siswa dan guru belajar fisika dengan memahami konsep dan menggunakan logika.

”VCD Fisika yang satu paketnya terdiri dari 20 keping itu boleh diperbanyak siapa saja. Cuma butuh dukungan dari pemerintah daerah dan swasta supaya VCD itu bisa diperbanyak dan disebarluaskan secara gratis ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia,” ujarnya.

Belajar sains yang tidak menarik buat siswa perlahan-lahan dipatahkan dengan menciptakan komik sains. PT Kuark Internasional yang digagas pemerhati pendidikan menciptakan tokoh-tokoh komik yang mengajarkan sains (Fisika, Zoologi, dan Astronomi) untuk siswa SD dengan kekuatan visual.

”Dengan bentuk komik, anak- anak tidak berat untuk belajar sains. Sambil tidur-tiduran atau di mana saja, mereka sudah bisa belajar. Suasana yang rileks itu membuat anak-anak yang tadinya antisains jadi mulai suka,” kata Gelar Soetopo, Pengelola Produksi PT Kuark Internasional.

Soetopo menambahkan, anak-anak juga dirangsang untuk melakukan kegiatan percobaan dengan memanfaatkan apa yang ada di sekeliling mereka. Para guru dan orangtua diharapkan bisa membantu dan mendorong anak untuk berpikir secara ilmiah.

”Belajar sains itu tidak hanya untuk menguasai ilmu sains, tetapi sains bisa mendorong hal lain pada diri anak seperti berpikir sistematis, logis, punya daya analisis, serta sabar untuk mencoba. Mau jadi ilmuwan atau tidak, anak-anak ini ke depannya bisa berpikir secara ilmiah,” katanya sambil menyebutkan komik sains Kuark sudah mencapai tiras 75.000 eksemplar.

Pembelajaran sains yang menyenangkan dan membuat anak asyik sudah 22 tahun dilakukan PT Pesona Edukasi, pencipta perangkat lunak Pesona Fisika dan Pesona Matematika dari SD-SMA/ SMK. Perangkat lunak pendidikan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi itu menyajikan pembelajaran Fisika dan Matematika dengan menggunakan animasi yang interaktif.

Siswa bisa tertawa saat belajar sains yang tadinya menakutkan. Materi yang diajarkan di perangkat lunak karya asli Indonesia yang sudah diekspor ke mancanegara itu dirancang sesuai kurikulum hingga memudahkan guru dan siswa belajar Fisika dan Matematika di sekolah.

Gairah belajar sains yang mulai tumbuh berkat adanya terobosan yang dilakukan anak-anak bangsa untuk memutus ”ketakutan” anak-anak pada sains itu perlu didorong. Pemerintah mestinya mampu memanfaatkan inisiatif dan inovasi yang tumbuh dari masyarakat ini dengan dukungan berupa kebijakan dan pendanaan. (Ester Lince Napitupulu) -Kompas-

0 komentar:

Posting Komentar